Loading...

Diskusi Film “Atas Nama Percaya”, Aksin Wijaya: Diskriminasi Itu Nyata

Foto: Umar

lpmalmillah.com- Sabtu, (11/01/20) Pustaka Kaki Lima (PKL) mengadakan Bedah dan Diskusi Film Atas Nama Percaya. Aksin Wijaya (Direktur Pasca Sarjana IAIN Ponorogo), Murdiyanto (Koordinator Gusdurian Ponorogo) dan Darmanto (Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Ponorogo) hadir sebagai pembicara. Berlangsung di Warkop Djangkrik, Bedah Film ini turut didukung oleh PPMI DK Madiun dan beberapa komunitas bisnis. Acara ini juga dihadiri oleh puluhan pemuda dari beberapa kampus di Ponorogo, organisasi ekstra kampus, dan masyarakat sekitar.

Atas Nama Percaya merupakan Film dokumenter hasil produksi Studio WatchDoc milik Dhandy Dwi Laksono bersamadengan CRCS UGM. Film ini menceritakan nasib masyarakat yang menganut aliran kepercayaan seperti warga penganut kepercayaan leluhur Marapu di Marapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur dan Aliran Kebatinan Perjalanan di Desa Cimeria, Subang, Jawa Barat.  Mereka didiskriminasi oleh masyarakat sekitarnya maupun negara dan lekat dengan stigma primitif, tidak beragama, bahkan sesat. Penganut aliran kepercayaan seperti mereka yang mana ajarannya tidak diakui secara hukum di Indonesia terpaksa mengisi kolom agama pada KTP dengan agama yang diakui, atau bahkan malah tidak diisi.

Hingga pada tahun 2017 demi persamaan hak dalam bernegara, melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU/2016 membuat para penganut aliran kepercayaan mendapatkan haknya seperti halnya warga negara lain. Namun keadaan di lapangan tidak serta merta berubah drastis. Hingga film ini dirilis dua bulan lalu, putusan MK tersebut masih memiliki lubang menganga.

Sesi diskusi dibuka oleh Aksin Wijaya sebagai pembicara pertama. Ia membenarkan apa yang ada di film, bahwa memang adadiskriminasi baik secara struktural dan kultural kepada penganut kepercayaan penghayat dan aliran. Menurutnya, diskriminasi secara cultural muncul karena pandangan suatu kelompok agama (yang diakui negara) yang menganggap bahwa ajaran mereka yang paling benar, sehingga menilai sesat agama dan penganut kepercayaan lain. “Diskriminasi kultural itu lahir karena adanya transfer teologi diskriminatif mulai sejak kecil,” katanya.

Contoh kasus yang dikemukakan Murdianto dan Darmanto menguatkan pernyataan Aksin dalam hal diskriminasi. Murdianto menyampaikan, pernah ada pernikahan masyarakat penganut penghayat dan aliran yang tidak diuruskan oleh KUA karena tidak diakui oleh negara. Sedangkan Darmanto mengangkat kasus yang pernah terjadi di Balong, Ponorogo. Terdapat pasutri beda agama, yang pada saat itu suaminya meninggal tidak diterima di masyarakat hanya karena ia tidak se-agama dengan mayoritas warga.

Darmanto juga menjelaskan mengenai keadaan penghayat kepercayaan. Saat ini, di Ponorogo terdapat 26 kelompok dan aliran penghayat yang dinaungi MLKI. Ia juga menceritakan prosedur pemakaman dan pernikahan penghayat. Untuk keperluan ini, pemerintah mengangkat sekitar 200 penyuluh penghayat di Indonesia. Jika ada penghayat yang meninggal, akan didoakan terlebih dahulu sesuai alirannya, baru kemudian diurus sesuai dengan mayoritas masyarakat. Sedangkan untuk pernikahan dilakukan di depan sesepuh penghayat, baru kemudian didaftarkan secara administrative ke Dukcapil. Meski begitu, baru sebagian daerah yang menerapkan ini.

Pada sesi Tanya jawab, Syamsul Hadi dari IAIN Ponorogo bertanya.“Apakah aliran kepercayaan termasuk dalam agama, atau dapat dikategorikan toriqoh?”

Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh Darmanto. “Tergantung dengan model ajaran dalam aliran penghayatnya. Apalagi aliran penghayat merupakan suatu budaya, pastinya setiap daerah memiliki alirannya sendiri-sendiri.”

Reporter: Nana, Refo
Slider 4084763143278692895

Post a Comment

emo-but-icon

Home item

ADS

Popular Posts

Random