Kelopak 2 "ORKESTA KEMATIAN"
https://betamillah.blogspot.com/2018/10/kelopak-2-kematian.html
"Orkestra Kematian"
Karya Chandra Nirwana
Tak ada yang akan mengira warna kehidupan itu terlalu fana dan berubah menjadi monokrom. Hingga gerbang kehancuran hampir terbuka. Menyisakan celah. Dewata masih belum jua menggoreskan tinta takdir. Merubah kematian yang merajalela dengan sebuah kehidupan yang memiliki nafas. Ia terdiam. Belum memilihkan akhir.
Mayat-mayat bertebaran di mana-mana. Bertumpuk dan bertindih di atas tanah berkarat. Ada mayat yang masih utuh. Ada yang sudah kehilangan kepala dan kakinya. Anak panah tertanam di berbagai tempat, menembus kulit-kulit busuk. Sayat bekas toreh pedang mengucurkan darah sederas mata air.
Sepanjang mata memandang, selalu terdapat mayat-mayat. Mati, tanpa mendapat jawaban dari pertanyaan yang tersirat lewat tatapan mata yang membelalak. Mencuat keluar. Terciprati darah dan lumpur.
Bumi Mayapada Protesis yang mereka namai Bajamus Ave kini terdistraksi menjadi neraka imitatif.
Melihat hal itu, Seraphim yang berada di langit, di antara bintang Amulintang, hanya bisa duduk diam dan menyanyikan doa-doa harapan. Berharap Dewata berhenti terdiam dan menurunkan titah pertamanya. Salah satu dari ordo Kerubim memutuskan untuk turun kebumi. Membawa secuil harapan di antara keputusasaan yang tersendat dalam sayap peraknya yang berkilau.
Kerub mengais tanah. Mengumpulkan bertetes harapan yang terbuang percuma dari jiwa-jiwa yang terpisah dari raga. Tumpah ruah. Berserak di antara mayat-mayat kaku. Ia bergumul bersama burung-burung kondor yang tak henti mematuk daging mati.
“Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa sejauh aku memandang, hanya kesedihan yang teramat kentara yang tampak? Kemanakah kehidupan? Kemanakah keadilan? Kemana suara-suara itu?” ucap Kerub sambil terus memandang satu persatu mayat tak bernyawa.
Ia seorang diri di sana. Menyimpan berbagai pertanyaan yang tak akan pernah berakhir. Tak akan pernah terjawab hingga Dewata turun tangan. Tapi apa? Selama ini Dewata terdiam dan membiarkan kubu hitam terus merenggut kemanusiaan. Menunggu hingga Mayapada Protesis menemui kiamatnya sendiri. Kehancurannya sendiri.
“Dewata tidak sedang diam. Ia menunggu matahari yang tepat saat semua ini akan diakhiri.” Bunga krisan diletakkan di samping sebuah tonggak kokoh. Kerub memandang manusia yang membawa sebakul krisan putih. Manusia. Bagaimana bisa ia masih hidup saat nafas kehidupan di tanah ini dicerabut secara paksa. Sebuah kontradiksi yang amat mencolok di atas ladang kematian ini.
Kerub tahu siapa dia. Ksatria dan pemegang rahasia. Sang Klandestin. “Apa yang dilakukan seorang Kerub di sini? Apa Swarga Loka sudah membuatmu bosan?” Klandestin belum berpaling ke arah malaikat. Tangannya terus menyelipkan doa dan krisan putih pada mayat. Kerub masih membisu. Hanya desau angin senja yang membelah udara di antara mereka.
“Aku tak sedang berbicara dengan mayat hidup, kan?”
Alih-alih marah, senyum Klandestin mengembang kaku. Kali ini ia mendongak memandang Kerub dengan tatapan teduh. “Mereka yang hidup adalah mereka yang memiliki hati yang masih suci. Belum tercorengi keserakahan dan angkara murka yang ditumbuhkan ego liar. Sedangkan dunia ini masih diduduki oleh mereka yang sudahmati. Mati cahaya hatinya dan membutakan nurani. Tak bisa lagi memandang mutiara kehidupan yang kini sedang rapuhnya.”
Kerub mengatupkan keempat sayapnya, menekuri ucapan Klandestin yang menebar makna dasyat di hatinya. “Lalu siapa lagi yang akan membebaskan tanah ini kalau semua kehidupan sudah dihapus? Dewata bahkan berpaling dari ini semua.”
“Dia bukan berpaling. Kerubku yang terhormat, Dewata tidak sedang memegang pion apapun. Ia melepas semuanya. Hitam dan putih saat ini bersateru dalam keseimbangan. Ia akan turun tangan saat salah satu dari pion tersebut mengalahkan yang lain. Menyalahi keseimbangan yang seharusnya dijaga utuh. Aku ingin tertawa. Bagaimana bisa Dewata memainkan semua ini seperti bidak catur.”
Krisan yang berada di bejana Klandestin melebur sebagian, menjadi renik-renik serangga kecil yang terbang digiring angin. Menjamah cakrawala dan bergerombol satu koloni menuju peraduan matahari senja. Memenuhi pandangan mereka, menciptakan tabir dari selendang jingga yang mengisi mega.
“Mereka yang direnggut hatinya akan kembali ke alam mereka. Ke alam di mana mereka tak lagi mengawatirkan semua chaos yang terjadi di dunia fana ini. Tapi bukan berarti kita akan diam dan membiarkan kehancuran mulai menampakkan diri. Jika Dewata tidak segera mengambil keputusan, maka kita yang akan menentukan akhir dari semua ini.”
“Kata-kata muter lalu dalam, Klandestin. Jika semua yang memiliki hati telah mati dan direnggut kehidupannya, bagaimana kamu bisa hidup dan hadir menyaksikan semua ini dengan tenang? Kau itu manusia, bukan?” kata Kerub sedikit meninggikan suaranya tiga oktaf.
“Dari awal aku memang manusia dan memiliki hati. Tapi lihatlah siapa aku sebenarnya. Aku pemegang rahasia. Rahasia yang kupegang terlalu sacral untuk diketahui banyak orang. Maka aku merahasiakan hatiku dari siapa saja, termasuk dari pohon-pohon. Perlu kamu ketahui,” Klandestin mendekat dan berbisik. “Setengah kubu pepohonan adalah pengintai. Angin bisa jadi pendengar yang jeli. Langit bisa saja dengan licik berubah menjadi pengintip yang lihai.”
Tiba-tiba, suara bergemuruh terdengar dari balik kerak bumi. Bebatuan bergetar. Burung-burung kondor beterbangan dengan kacau. Bumi berguncang. Mengamuk. Membentuk sesar secara sporadik di permukaan tanah.
“Dewata?” Tanya Klandestin.
“Bukan. Ini adalah getaran karena mereka. Asmedeus baru saja menggaungkan orchestra kematian.”
Foto: www.deviantart.com