Menyontek: Merusak Karakter Mahasiswa Sejatinya
https://betamillah.blogspot.com/2018/01/menyontek-merusak-karakter-mahasiswa.html
Oleh Adzka Haniina
Ujian merupakan vase akhir sebagai evaluasi kemampuan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Evaluasi yang ada sebenarnya bukan hanya berupa ujian materi, pun karakter peserta didik sendiri juga turut diuji. Dalam suasana ujian yang tegang, tidak menutup kemungkinan godaan untuk menyontek muncul. Hal tersebut sudah terlalu lumrah dan menjadi budaya saat ujian berlangsung. Tak terkecuali di ranah mahasiswa, budaya menyontek pun masih merambah. Tetapi, pernahkah kita terfikir dampak dari menyontek saat ujian?
Menyontek dapat didefinisikan sebagai perilaku curang, mencuri, atau melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan diri sendiri dengan menghalalkan segala macam cara dalam menjalani ujian atau tes (Hartanto, 2011:3). Kita sebagai mahasiswa tentu merasa segala hal yang bernama ‘ujian’ adalah hal yang menyulitkan. Untuk memudahkannya, sering sebagian kita memilih menyontek, baik dengan cara bertanya ke teman se-ruang ujian, browsing, ataupun membaca kertas kecil bertuliskan poin penting yang sering disebut ‘ngrepek’. Dengan menyontek, jawaban yang ragu menjadi yakin, soal yang tak bisa terjawab akhirnya terjawab. Dengan begitu, ujian bukan momen yang sulit lagi.
Ya, sontek-menyontek terkadang disalahartikan sebagai kegiatan saling bantu-membantu. Penulis pernah menjumpai quotes dari media social yang berbunyi, “Kekancan iku luwih duwur timbang IPK. Mulane ojo ngutamakne bijine dewe timbang kekancan.”, yang berarti, “Persahabatan itu lebih tinggi daripada IPK, maka jangan mengutamakan nilai pribadi dibandingkan persahabatan” Potongan kalimat itu menekankan bahwa jika saat ujian kita memilih untuk menjawab sendiri, tidak memberi jawaban pada teman, dan mendapat nilai bagus dengan hasil usaha sendiri, kita telah menciderai komitmen persahabatan. Karena persahabatan-lah yang abadi, sedangkan IPK tidak. IPK buruk tak akan merusak persahabatan, enggan menolong teman saat ujian-lah yang menjadi masalah.
Dalam konteks pendidikan karakter, menyontek tidak dapat dikatakan sebagai interaksi tolong-menolong. Justru menyontek bisa merusak karakter antar subjek yang terlibat. Saat seseorang memberi jawaban pada temannya, lalu kejadian ini berulang di setiap ujian, si teman akan mengalami ketergantungan berlanjut untuk bertanya setiap menemui kesulitan dalam ujian. Ia akan merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya sendiri menjawab soal ujian.
Belum lagi rasa tidak percaya diri tersebut merambat di keseharian yang dijalani. Padahal kita tahu, kepercayaan diri dan kemandirian menjadi sifat wajib bagi mahasiswa yang notabene lebih dewasa. Perlu dipahami bahwa menyontek bisa semakin membodohkan orang yang meminta jawaban. Karena secara tidak langsung, si pemberi jawaban telah menceburkan temannya ke dalam jurang kerugian. Maka, sekali lagi menyontek tidak bisa dikatakan sebagai bentuk solidaritas persahabatan.
Dalam rangka memperoleh nilai yang baik, seseorang menodai nilai-nilai kejujuran dengan melakukan kecurangan agar dapat memperoleh nilai tinggi yang sebenarnya hanyalah fantasi, karena bukan murni hasil yang mencerminkan kemampuannya yang sebenarnya. (Warsiyah, 2013:5). Jawaban hasil dari menyontek memang tidak dapat dilihat secara gamblang dari nilai tertulis, tapi akan tergambar dari karakter orang yang melakukannya.
Kita semua tahu, menyontek adalah bentuk kecurangan dalam ujian. Dengan melakukan kecurangan, berarti kita telah menjadi pribadi yang tidak sportif dan tidak jujur. Ketidakjujuran bukan hanya pada pengawas, teman, dan pengajar, tapi juga pada diri kita sendiri. Kita tidak jujur pada kemampuan kita dengan usaha yang kita lakukan. Kita tidak jujur pada nilai yang menggambarkan kompetensi kita dalam suatu bidang.
Selain itu, menyontek menimbulkan rasa malas untuk berjuang pada masa ujian. Toh, esok harinya bisa melihat contekan atau bertanya pada si dia yang lebih pintar. Tidak perlu takut melupa saat mengerjakan soal, teman se-ruangan bisa membantu. Belajar yang terdiri dari proses menghafal, memahami, dan mengulangi pelajaran bisa diubah menjadi rangkuman pelajaran dalam satu kertas kecil. Melihat berbagai dampak negatif dari menyontek, maka peran pengawas ujian diperlukan untuk mendidik karakter mahasiswa yang jujur dan sportif. Pengawas perlu melakukan penjagaan ketat dan antisipasi segala bentuk kecurangan pada mahasiswa.
Pun diperlukan peran dari mahasiswa sebagai peserta ujian yang perlu menyadari bahwa ujian bukanlah tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama-sama. Ujian merupakan masa kita untuk belajar juga. Dengan adanya ujian, kita bisa belajar dan mengulang ilmu yang diperoleh selama belajar di kelas. Dengan menyadari bahwa ujian dilaksanakan untuk belajar, tidak akan ada kekhawatiran mengenai nilai yang muncul nantinya. Jika ujian untuk belajar, proses ujian akan dilakoni tanpa kecurangan dan penipuan.
Dengan berbagai alasan, sampai kapanpun menyontek tidak bisa dihalalkan sebagai alat tempur saat ujian. Kapan negara ini bisa maju kalau penerus bangsanya masih membudayakan menyontek? Terlebih lagi lebel mahasiswa yang tersemat pada namanya menjadi tanggungjawab yang lebih berat dibanding pendidikan setingkat SLTP dan SLTA.
Saat mahasiswa terbiasa menyontek, ia telah membudayakan karakter buruk pada dirinya. Memang saat ini terlihat baik di IPK, namun masyarakat tidak akan melihat IPK yang didapat, masyarakat butuh mahasiswa berkarakter, yang jujur, sportif, dan tidak suka berbuat curang, tentunya. Mahasiswa yang teguh pendirian, pekerja keras, dan percaya diri dengan hasil usahanya lebih mendapatkan nilai dari ujian karakter yang ada dalam ujian. Kegagalan justru ada pada mahasiswa yang menyontek, karena ia tidak mendapatkan nilai-nilai sesungguhnya yang ada pada sebuah ujian.
Terakhir, marilah kita merenungi kutipan dari Lenang Manggala, founder Gerakan Menulis Buku Indonesia berikut ini; “Kawan-kawan baik di sekolah maupun perguruan tinggi sebaiknya tidak lupa. Bahwa nilai tinggi yang ada dalam sebuah ujian hanyalah hasil transformasi daya rekam ingatan; bukan nilai dari pertumbuhan pemikiran. Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungan. Itulah fungsi pendidikan yang sesungguhnya.”