Seminar Dialektika Agama dan Politik, Ulil: “Politik Islam Indonesia Masih Primitif”
https://betamillah.blogspot.com/2017/12/seminar-dialektika-agama-dan-politik.html
Reporter: Abidin
Repro: Ienas Tsuroiya |
lpmalmillah.com, Ponorogo – Dialektika antara agama dan politik, memposisikan agama dalam dunia politik dan sebaliknya. Seperti itulah garis besar pembahasan dalam acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pascasarjana IAIN Ponorogo di Graha Watoe Dhakon Selasa (12/12)
Tahun-tahun politik yang sudah di depan mata dan agama yang akhir-akhir ini semakin nyata dibawa ke ranah politik praktis adalah latar belakang seminar ini diadakan. “Agama tidak pernah lepas dari politik praktis Indonesia. Akan jadi masalah bila politik praktis memperkosa agama yang dijadikan sebagai alat partai untuk perebutan kekuasaan,” terang Aksin Wijaya selaku direktur Pascasarjana. Abid Rohmanu sebagai moderator juga menambahkan bahwa akhir-akhir ini agama sering ditampilkan sebagai “simbol-simbol” yang justru dapat menimbulkan konflik horizontal. “Tema yang kita ambil sangat relevan karena tahun depan (2018) kita akan menyambut Pilkada serentak dan Pilpres di tahun 2019,” tuturnya.
Intelektual muda Ulil Abshar Abdalla yang terkenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya dan Martinus Sardi, dosen UMY yang belum lama menjadi muallaf dan dosen di Italia didaulat sebagai narasumber pada forum ini. Martinus juga malang melintang dalam misi perdamaian dan HAM di Israel dan negara-negara Timteng serta Eropa.
Ulil menjelaskan bahwa model politik Islam Indonesia (Indonesian Way) berbeda dengan negara lain yang mayoritas Islam (Arab, Mesir, Malaysia) tetapi lebih mirip dengan Turki, yaitu pada posisi agama dan demokrasi yang dapat berjalan dengan akur. Islam di Indonesia lebih mengutamakan subtansi keadilan sosialnya daripada formalisasi hukum-hukumnya.
Menantu dari Mustofa Bisri (Gus Mus) itu juga menambahkan bahwa agama Islam belum menjiwai perilaku politik Indonesia. Yang dijadikan fokus adalah bagaimana caranya meraih dan mempertahankan kekuasaan, bukan manfaat atau fungsi dari kekuasaan itu sendiri. “Politik Islam Indonesia masih primitif, kelas dunia ketiga. Yang dipikirkan sekedar how to get and maintain the power, bukan what the power is for. Nilai universal Islam belum diejawantahkan oleh individu maupun partai dalam dunia politik,” tegas alumni Harvard Univerty itu.
Saat disinggung tentang sikap para intelektual Indonesia yang apolitik padahal memiliki kemampuan mumpuni, ia menyatakan bahwa memang para kiai, ulama atau intelektual lebih cocok mengemban peran profetik (kenabian), menyampaikan gagasan atau nasihat dari luar dunia politik daripada terjun langsung jadi politisi. “Kiai itu jadi syuriahnya politik saja. Pengurus tanfidhiyahnya biar para politisi,” imbuhnya.
Sementara itu Martinus menegaskan bahwa yang akrab kita temui hari ini adalah politisasi agama. Agama hanya dijadikan sebagai alat perebutan kekuasaan. “Mayoritas para politikus menjadikan agama sebagai instrumen dalam kampanye politik saja. Setelah mereka terpilih malah lupa berterimakasih pada agama dan rakyat yang memilihnya,” paparnya.
Sosok yang pernah menjadi pendeta di Italia itu juga menerangkan bahwa umat Islam di Indonesia sering ditipu janji-janji palsu politisi. Rakyat begitu mudah memilih pemimpin hanya karena seagama, bukan karena perilaku keberagamaannya.
Agama (Islam) dan politik tidak bisa dipisahkan tetapi harus didialektikkan. Islam dibutuhkan utuk menjaga moralitas politik. Sedangkan politik dibutuhkan agama sebagai haris ad-diin (penjaga eksistensi). Pernyataan dari moderator di atas menutup seminar hari ini.
Lanjutkan
ReplyDeleteSIAP!
DeletePemikiran politik modern mengajarkan agar kita memisahkan antara negara dan agama. Padahal ada hubungan antara kita, tanah air, negara, dan Tuhan. Dialektika seperti ini harus melalui exstra-pemahaman yang komprehensif. (Sinau bareng Cak Nun)
ReplyDeletemantab!
Delete