Loading...

PLURALISME: Primordialisme Perlu di-Destruksikan



Oleh Ariny Sa’adah
 
Indonesia yang masyarakatnya bersifat heterogen memunculkan banyak persepsi dan kontradiksi. Hal ini dibuktikan dengan fenomena multikulturalisme di negeri ini yang selalu saja dipermasalahkan meskipun sudah mengalami proses asimilasi secara kultural dari nenek moyang terdahulu. Indonesia yang berjejer dari Sabang sampai Merauke dengan multisuku, multibahasa, multibudaya, dan multiras, itu semua bisa menjadi sebuah senjata ataupun pegangan super bagi negara. Karena telah kita ketahui bahwa keberagaman negri ini mencirikan keunikan dan kekayaan bangsa dalam kancah dunia.

Tulisan ini tidak akan berpretensi menguraikan banyak hal. Tetapi akan ditekankan pada pluralitas yang sering didengung-dengungkan namun minim aktualisasi dalam keseharian. Heterogenitas adalah istilah yang erat kaitannya dengan pluralisme. Heterogenitas merupakan kata yang menggambarkan keberagaman, bersuku-suku, dan berlawanan dengan istilah homogenitas. Pluralisme sendiri bermakna jamak, lebih dari satu, dan beragam.

Corak pluralisme di negara ini memungkinkan akan berdampak pada pengaruh negatif dan positif. Terbukti banyak masalah yang disebabkan oleh keberagaman budaya hingga cara berpikir yang terbentuk atas kehidupan sosial di masyarakat. Penulis mengambil contoh dalam hal agama dimana sedang dalam konflik di tahun-tahun terakhir ini.

Agama sebagai alat informasi dari Tuhan, dipermasalahkan hanya karena perbedaan cara berfikir dan multitafsir kelompok yang berbeda. Banyak pergunjingan di masyarakat yang notabene “awam” mengeluarkan statemen negatif kepada kelompok lain yang tidak sependapat. Ini berakibat pada benih-benih primordialisme, bahkan yang lebih ekstrim lagi berujung pada radikalisme. Mengapa saya katakana radikalisme, karena sebuah kelompok menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain. Sehingga apabila sikap primordial ini tertanam dan tumbuh subur diasumsikan akan berakhir pada tindakan yang tidak diharapkan.

Indonesia dengan dasar negara berupa “pancasila” memang telah sesuai dengan keadaan heterogenitas masyarakatnya. Selain itu juga pancasila merupakan ideologi bangsa yang sangat fleksibel dengan asas demokrasi sebagai pendukungnya. Tentu pluralisme sudah semestinya dijunjung tinggi. Mengutip pernyataan presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih sering berada dalam kondisi saling mencela, mengejek, dan mengumpat. Sosok yang akrab dipanggil Jokowi itu juga mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sering mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa yakni menjaga sopan santun dalam kehidupan sosial. Maka dari itu dia mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga sikap optimisme dan saling toleransi antar suku, sehingga bersama-sama bergerak menghadapi tantangan global.

Hal ini selaras dengan pernyataan viral beberapa waktu yang lalu, Afi Nihaya Faradisa, seorang gadis dari Banyuwangi, yang menuliskan bahwa masyarakat Indonesia disibukkan dengan permasalahan warisan (agama.red). Opininya mengatakan bahwa hal semacam itu akan membuat Indonesia menjadi stagnan, bahkan bisa terbelakang. Karena negara lain sudah berkeliling planet dan merencanakan pergi ke bulan, sedangkan masyarakat Indonesia masih sibuk mempermasalahkan perbedaan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, sejatinya kesadaran akan pluralisme itu sangatlah penting. Sehingga kita hidup di dunia ini tidak lagi mempertanyakan agama, ras, etnik, dan bahasa. Akan tetapi kita sama-sama berbincang tentang masa depan, tentang fenomena lain seperti ilmu pengetahuan, politik, hukum, hak dan kewajiban terhadap negara. Diskusi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi saya kira lebih membawa implikasi pada kemajuan bangsa daripada bersikukuh mempertanyakan keyakinan.

Melihat fenomena paling mutakhir di negri kita, anti-pancasila seperti “bom meledak” bagi masyarakat dan negara. Ketika Indonesia berada dalam keindahan pluralisme, ada pihak yang menyatakan keras penolakannya terhadap nilai dan cita-cita luhur bangsa. Gagasan seperti itu adalah sebuah bentuk dari hasil penjajahan pola pikir. Gerakan anti-pancasila yang mengusung syariat islam sebagai sistem dan aturan mutlak bagi Indonesia, terlihat layaknya “kacang lupa kulitnya”. Pemikiran seperti itu sangat memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang nasionalismenya sangatlah kurang.

Semestinya pemikiran seperti itu perlu diluruskan kembali pemahamannya tentang agama dan bernegara. Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, yang paling penting adalah masyarakat muslim dapat menjalankan aktivitas ke-islamannya dengan leluasa di negeri ini. Fleksibilitas pemikiran memang perlu untuk memahami makna pluralisme dalam masyarakat yang heterogen. Pada akhirnya stabilitas sosial itu dapat berlangsung secara harmonis. Fanatik dan primordialisme semacam itu sudah semestinya di-‘destruksikan’.

Pluralisme sudah dimiliki bangsa Indonesia sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat nusantara yang bisa ditemukan dalam beragam tradisi, kebudayaan dan tatanan masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal itulah yang kemudian diintisarikan oleh Ir. Soekarno menjadi Pancasila. Inilah landasan ideologis bangsa sekaligus cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus diimplementasikan dalam setiap bidang kehidupan lintas generasi.

Multikulturalisme yang menjadi ideologi, maka pola hubungan yang terjadi di masyarakatpun bukan sekedar invasi, melainkan sudah menjadi sistem konvergensi. Dimana keragaman suku dan budaya membaur menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyempurnakan. Tolerasni menjadi suatu perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa.

Saya teringat pernyataan Cak Makin ketika bedah buku “Keragaman” di kampus IAIN Ponorogo ketika saya duduk di semester II yang lalu. Ketika itu beliau berkata, “Menciptakan keseragaman adalah upaya untuk melemahkan daya inovatif masyarakat, sedangkan menjunjung tinggi keragaman adalah modal untuk membangun bangsa dengan jalan menciptakan kultur masyarakat yang kaya akan budaya dan pilihan.”
Slider 5091977947037337577

Post a Comment

emo-but-icon

Home item

ADS

Popular Posts

Random