Nurel Javissyarqi, Sastrawan Pelukis Kata
https://betamillah.blogspot.com/2017/04/nurel-javissyarqi-sastrawan-pelukis-kata.html
Sebongkah berlian akan memiliki nilai jual tinggi jika ia mau keluar dari dalam tanah dan mau bersabar dalam menghadapi proses pengolahan yang membutuhkan waktu lama. Tapi jika sebongkah berlian tersebut tidak mau keluar dari perut bumi dan tidak mau merasakan kerasnya proses pengolahan, maka ia hanyalah sebongkah batu berlumpur yang tidak berharga.
Seperti halnya perumpamaan di atas, seseorang yang tidak mau berproses dan tidak mau bersungguh-sungguh dalam prosesnya tidak akan memberikan manfaat apa-apa kepada dirinya maupun lingkunganya, yang ada hanyalah ia akan dipandang rendah, diinjak-injak dan menjadi beban bagi orang disekitarnya. Hal inilah yang tidak ingin dirasakan oleh seorang sastrawan Nurel Javissyarqi yang saat ditemui di Wakoka ia mengaku lebih akrab jika dipanggil cak Nurel.
Tidak jarang kita dapati tokoh-tokoh terkenal di dunia pada awalnya mereka adalah anak yang kurang pandai bahkan tidak jarang juga yang dikeluarkan dari sekolah mareka. Salah satunya adalah Thomas Alva Edision yang pernah mengalami kesulitan belajar pada masa kecilnya. Sama halnya dengan Edision, cak Nurel yang lahir dengan nama Nur Laili Rahmat pada 8 maret 1976 di Lamongan, awal mulanya adalah anak kurang pandai bahkan ia baru bisa membaca ketika sudah di bangku kelas 5 MI. “Saya dulu itu bukan anak yang pintar. Kelas 5 MI saya baru bisa membaca, itu pun saya masih belum paham dengan apa yang saya baca,” ujarnya.
Beberapa hal yang menyebabkan cak Nurel menyebut dirinya yang dulu sebagai anak yang bodoh bukan hanya karena kesulitanya dalam belajar, namun juga disebabkan karena kebenciannya dengan membaca dan karena ia sendiri benci jika melihat teman-teman yang meluangkan waktu mereka untuk membaca buku. “Saya dulu itu tidak suka membaca buku dan saya sangat benci melihat orang yang membaca buku.”
Memasuki usia MTs labelnya bertambah, selain berlebel anak bodoh ia juga memiliki label anak nakal. Hal ini berawal ketika muncul keinginan untuk mencari jati dirinya dan hasratnya untuk menjadi terkenal. Berbeda dengan anak seusianya yang jika ingin meraih hal tersebut dengan berbuat dengan hal positif dan meraih prestasi setinggi-tingginya, ia malah memilih menjadi anak yang nakal sebagai perwujudan dari dirinya yang asli dan untuk menarik perhatian orang-orang disekitarnya. “Menginjak usia MTs saya mulai mencari jati diri, saya ingin menjadi anak yang terkenal dengan cara menjadi anak yang nakal,” kenangnya.
Waktu pun berlalu dan lambat laun mulailah minatnya untuk membaca dan menulis muncul. Menginjak kelas 2 MA, kepribadiannya mulai berubah, yang awalnya ia benci membaca buku kemudian hatinya mulai tergugah dan sadar akan pentingnya membaca buku. Ia yang awalnya benci dengan orang yang membaca buku sedikit demi sedikit mulai menyukai buku. Bukan hanya mulai suka membaca buku tapi pada masa ini bakat kepenulisannya mulai muncul, terbukti dengan lahirnya 13 puisi yang ia tulis sendiri pada masa itu.
Hal yang menjadi kebanggaan bagi cak Nurel ketika ia tidak lulus S1 tetapi sering memberikan materi tentang kepenulisan kepada mereka yang sedang menempuh maupun sudah lulus sarjana. Ketidak lulusanya dari Universitas Widya Mataram Jogja bukan tanpa sebab. Kuliah S1-nya di fakultas Ekonomi sebab paksaan dari kedua orang tuanya,karena keterpaksaan itulah ia sengaja tidak meluluskan kuliahnya dalam rangka ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia bukan termasuk tipe orang yang suka dipaksa. “Saya S1 tidak lulus tapi saya bisa memberikan materi di bangku-bangku kuliah. Inikan tidak masuk akal kalau dilogika, bukan ? Jadi pada intinya ya sungguh-sungguh itu. Kita buktikan dengan karya kita bahwa kita bekerja dengan sungguh-sungguh,” tuturnya saat di Wakoka.
Menjadi seorang penulis bukanlah keinginan awal cak Nurel. Menggambar adalah hobi yang dimiliki cak Nurel sejak kecil sehingga awal kedatanganya ke Jogja adalah agar ia dapat menjadi seorang pelukis bukan menjadi penulis. Dikarenakan mahalnya cat pada saat itulah yang mendorong dirinya untuk berfikir dan menemukan solusi. Bagaimana caranya agar ia tetap dapat mengambarkan keindahan alam tanpa membebani keuangannya maka dengan kata-katalah akhirnya ia mengambarkan keindahan alam. “Karena niatan saya itu menjadi pelukis terus tidak kesampaian atau saya ingin merekam alam itu dengan lukisan tidak mampu karena cat mahal dan kanvas juga ratusan ribu jadi saya merekam alam lewat kata-kata,” ungkapnya.
Bukan kehidupan kalau tidak ada rintangan. Rintangan demi rintangan pernah dirasakan cak Nurel semasa proses kepenulisannya. Di antara rintangan yang paling berat yang ia alami adalah pada tahun 2012, tanpa diinginkan dan tanpa dibayangkan keluarga yang selama bertahun-tahun ia bangun kandas ditengah jalan. Hal inilah yang menyebabkannya menduda dan melalang buana dari Lamongan ke Ponorogo selama 3 tahun. Untuk menjaga akalnya tetap waras hal yang dapat ia lakukan hanyalah membaca buku tanpa menghasilkan karya. “Mungkin karena kebetulan atau apa mungkin sudah takdir saya itu sudah menikah dua kali. Pernikahan pertama saya pisah itu tahun 2012, terus saya mengembara di Ponorogo ini sampai 2014, saya menulis pun tidak bisa, jadi saya drop pada saat itu, saya hanya bisa membaca, itupun hanya novel, saya tidak mampu membaca buku yang lain.”
Tahun 2015, mulailah ia membangun keluarganya dan menulis kembali. Hal yang menarik dari penikahan kedua ini adalah istri keduanya tersebut mau ia nikahi walau hanya dengan maskawin puisi yang ia buat. Maskawin puisi tersebut bukan karena didasari keinginan agar penikahannya anti mainstream, tapi karena pada saat itu ia memang tidak memiliki apapun untuk dibelikan maskawin. Karena ketulusan cinta istrinyalah yang menyebabkan ia mau dipinang walau hanya dengan puisi. “Alhamdulillahnya ketika saya menikah yang kedua saya tidak punya apa-apa, tapi istri saya mau saya nikahi hanya dengan maskawin puisi. Jadi alhamdulillah saya tertolong dengan puisi juga, mungkin ketika saya tidak bisa menulis puisi atau apa, saya tidak bisa nikah lagi,” candanya.
Melalui goresan tinta emasnya tidak kurang dari 13 buku telah cak Nurel tulis hingga saat ini. Namun karena terhalang oleh biaya, hanya 4 judul saja yang mampu ia terbitkan, yang lainnya secara stensilan. Buku-buku tersebut beraliran sastra, antara lain adalah Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutarji Calzoum Bachri, Trilogi Kesadaran, Antologi Puisi Tunggal “Kitab Para Malaikat”, dan Antologi Puisi “Balada Takdir Terlalu Dini” . Cak Nurel sekarang sedang merampungkan sebuah karya kritik sastra yang masih dalam tahap perevisian, yang berjudul “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”.
Penulis: Mofik el-abrar